Cari Blog Ini

Selasa, 03 November 2015

Contoh Surat Perjanjian SewaMenyewa



SURAT PERJANJIAN SEWA MOBIL

Pada hari ini Selasa tanggal Satu Bulan November Tahun Dua Ribu Sebelas, saling berhadapan antara kedua belah pihak :
1.     Nama                          :  Sulistyo Utomo
Pekerjaan                   :  Swasta
Alamat                        :  Mlati Kidul RT 01/02, Mlati Kidul, Kota Kudus, Kudus
Telepon                       : 
Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama diri pribadi selaku YANG MENYEWAKAN. Selanjutnya disebut …………………………………………………………………………………… PIHAK PERTAMA
2.    Nama                          :  Wahyu Fajar Waspodo
Pekerjaan                   :  Swasta
Jabatan                     :  Corporate Secretary PT. Warna Dunia
Alamat                       :  Karangkidul, Pulosari, Kebakkramat, Karanganyar
Telepon                      :  (0271)8200872
Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama PT. Indaco Coatings Industry selaku PENYEWA. Selanjutnya disebut …………………………………………………………………….PIHAK KEDUA.

Kedua belah pihak sebelumnya menerangkan bahwa PIHAK PERTAMA selaku pemilik sah telah setuju untuk menyewakan kepada PIHAK KEDUA, dan PIHAK KEDUA telah setuju untuk menyewa dari PIHAK PERTAMA berupa kendaraan dengan criteria sebagai berikut :

1. Jenis kendaraan               : Minibus
2. Merek / Type                    : Nissan Grand Livina type Ultimate 1.8 (6 speed)
3. Tahun pembuatan             : 2008
4. Nomor Polisi                      : H 8904 HA
5. Nomor BPKB                      : E 96585271
6. Nomor rangka                   : MHBGIC2F8J004633
7. Nomor mesin                     : MR 18018983R
8. Warna                                : Silver
9. Kondisi barang                  :
Untuk selanjutnya dalam perjanjian ini disebut MOBIL.

Selanjutnya PARA PIHAK masing-masing bertindak dalam kapasitas / kedudukan mereka seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa PARA PIHAK setuju dan sepakat untuk mengikatkan diri dalam perjanjian, untuk selanjutnya disebut dengan PERJANJIAN SEWA MOBIL, dengan syarat-syarat dan ketentua-ketentuan sebagai berikut :





PASAL 1
MASA BERLAKUNYA PERJANJIAN SEWA
Ayat 1
Sewa-menyewa ini dilangsungkan dan diterima untuk jangka waktu selama 12 (dua belas) Bulan, terhitung sejak tanggal Satu Bulan November Tahun Dua Ribu Sebelas ( 01 – 11- 2011 ) dan berakhir pada tanggal Satu Bulan November Tahun Dua Ribu Dua Belas ( 01 – 11 - 2012)

Ayat 2
Setelah jangka waktu tersebut lampau, maka sewa-menyewa ini dapat diperpanjang untuk jangka waktu dan dengan syarat-syarat serta ketentuan-ketentuan yang akan ditentukan dalam Surat Perjanjian tersendiri.  

PASAL 3
HARGA SEWA
Ayat 1
Harga sewa atas MOBIL untuk jangka waktu sewa selama 12 ( dua belas ) bulan sebesar Rp. 56.400.000 ( lima puluh enam juta empat ratus ribu rupiah ) yang keseluruhannya akan dibayar oleh Pihak Kedua kepada Pihak Pertama secara bertahap setiap bulan sebesar Rp. 4.700.000 ( empat juta tujuh ratus ribu rupiah).
Ayat 2
A.   Jumlah uang mana telah dibayar oleh PIHAK KEDUA kepada PIHAK PERTAMA sebelum penandatanganan akta ini, untuk penerimaan uang mana akta ini berlaku pula sebagai tanda penerimanya
B.    untuk penerimaan sejumlah uang pembayaran setiap bulannya atas biaya sewa tersebut akan dibuatkan tanda terima (kwitansi) secara tersendiri/terpisah.

PASAL 2
PENYERAHAN KENDARAAN
Ayat 1
PIHAK PERTAMA menyerahkan MOBIL kepada PIHAK KEDUA setelah ditandatanganinya Surat Perjanjian ini berikut Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dari MOBIL yang dimaksud beserta surat-surat atau dokumen yang diperlukan.
Ayat 2
PIHAK KEDUA menyewa Mobil milik PIHAK PERTAMA tanpa membutuhkan jasa pengemudi atau sopir dari PIHAK PERTAMA.

PASAL 3
PIHAK KEDUA telah menerima apa yang disewanya tersebut dalam keadaan terpelihara baik dan oleh karena itu pada waktu sewa menyewa ini berakhir, maka ia wajib untuk menyerahkan kembali dalam keadaan terpelihara dengan baik pula.



Pasal 4
KENDARAAN YANG DISEWAKAN

PIHAK PERTAMA menjamin PIHAK KEDUA tentang apa yang disewakannya tersebut betul adalah hak dan miliknya sendiri, tidak menjadi jaminan sesuatu hutang, dan bahwa selama sewa menyewa ini berlangsung, PIHAK KEDUA tidak akan mendapat tuntutan dan/atau gangguan dari pihak lain yang menyatakan mempunyai hak terlebih dahulu atau turut mempunyai hak atas apa yang disewakan tersebut, karena PIHAK KEDUA dengan ini dibebaskan  oleh PIHAK PERTAMA mengenai hal-hal tersebut.

PASAL 5
BERLANGSUNGNYA PERJANJIAN SEWA
Ayat 1
Perjanjian Sewa-Menyewa ini tidak akan berhenti sebelum jangka waktu tersebut dalam Pasal 1 berakhir dan juga tidak akan berhenti karena salah satu pihak meninggal dunia atau dipindahtangankan secara bagaimanapun juga atas apa yang disewakan tersebut kepada pihak lain sebelum jangka waktu persewaan itu berakhir.

Ayat 2
Dalam hal salah satu pihak meninggal dunia, maka ahli waris yang  meninggal dunia berhak atau diwajibkan untuk memenuhi ketentuan-ketentuan atau melanjutkan sewa-menyewa ini sampai jangka waktu persewaan itu berakhir, sedang dalam hal MOBIL tersebut dipindahtangankan kepada pihak lain, maka pemilik baru atas apa yang disewakan tersebut harus tunduk kepada syarat-syarat dan ketentuan yang tercantum dalam perjanjian ini.

Ayat 3
Dalam hal salah satu Pihak berkehendak untuk memperpanjang jangka waktu sewa-menyewa yang disebut dalam Pasal 1 dari akta ini, maka kehendaknya itu harus diberitahukan kepada dan mendapat persetujuan tertulis dari Pihak lainnya, dalam jangka waktu 3 Bulan sebelum jangka waktu sewa itu berakhir.


PASAL 6
HAK DAN TANGGUNG JAWAB PIHAK PERTAMA

A.   Perawatan dan Perbaikan
1.     PIHAK PERTAMA berkewajiban untuk melakukan perawatan dan perbaikan MOBIL yang disewakan tersebut baik yang dilakukan secara periodic, maupun insidentil di bengkel yang telah ditentukan oleh PIHAK PERTAMA sebelumnya.
2.    Seluruh biaya yang timbul untuk perawatan dan perbaikan sebagaimana tersebut diatas sepenuhnya ditanggung oleh PIHAK PERTAMA, termasuk servis mekanis perbaikan dan perawatan MOBIL sehubungan kegagalan mekanis sebagai akibat dari penggunaan yang wajar (normal wear and tear)
3.    Seluruh biaya Pajak atas MOBIL yang disewakan menjadi tanggung jawab PIHAK PERTAMA.
4.    Dalam hal melakukan perbaikan dan perawatan, PIHAK KEDUA wajib menghubungi PIHAK I untuk pengaturan perawatan atau pemeriksaan secara teratur setiap perjalanan 5000 km. PIHAK II akan bertanggung jawab untuk semua biaya perbaikan jika PIHAK II memenuhi semua pemeriksaan perawatan seperti yang ditentukan di atas.
5.    Dalam hal MOBIL mengalami kerusakan berat dan membutuhkan perbaikan atau perawatan dalam jangka waktu lama, maka apabila diperlukan MOBIL dapat diganti sewaktu-waktu oleh PIHAK PERTAMA dengan unit mobil lain yang setipe/sekelas dengan MOBIL dalam perjanjian.

PASAL 7
TANGGUNG JAWAB PIHAK KEDUA

Ayat 1
Selain daripada kewajiban-kewajiban yang tertuang pada bagian lain dari perjanjian ini, PIHAK KEDUA berkewajiban memenuhi ketentuan sebagai berikut :
A.   MOBIL hanya boleh digunakan untuk dan dengan cara sebagai berikut:
1)    Penggunaan MOBIL hanya semata-mata untuk hal-hal yang legal dan tidak bertentangan dengan hukum; segala resiko dan biaya yang timbul sebagai pelanggaran terhadap ketentuan ini akan sepenuhnya menjadi tanggung jawab PIHAK KEDUA
2)   Untuk kepentingan/keperluan dinas perusahaan atau kepentingan pribadi karyawan PIHAK KEDUA dengan menggunakan pengemudi yang mampu dan memiliki SIM yang masih berlaku. Dalam hal PIHAK KEDUA menggunakan pengemudi yang kurang mampu, gegabah atau tidak memiliki SIM yang masih berlaku, PIHAK KEDUA sepenuhnya bertanggung jawab untuk setiap kerusakan,kehilangan, kecelakaan lalu lintas dan/atau sesuatu klaim dari pihak ketiga.
B.    Selama periode sewa, PIHAK KEDUA wajib menggunakan MOBIL dengan senantiasa memperhatikan ketentuan dalam pasal 1560 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
C.    PIHAK KEDUA wajib menyerahkan MOBIL kepada PIHAK PERTAMA atau bengkel yang ditunjuk PIHAK PERTAMA untuk dilakukan perawatan dan perbaikan berkala maupun insidentil dalam hal MOBIL memasuki jadwal rutin perawatan dan/atau mengalami kerusakan atau kecelakaan.
D.   Apabila STNK MOBIL hilang, rusak berat dan/atau karena kelalaian PIHAK KEDUA, sehingga mengalami keterlambatan dalam pajak kendaraan atau perpanjangan STNK maka PIHAK KEDUA bertanggung jawab atas seluruh biaya pajak kendaraan atau perpanjangan STNK tersebut, termasuk denda yang timbul sebagai akibat dari kehilangan, kerusakan atau kelalaian tersebut.
E.    Kerusakan dan/atau kehilangan kunci MOBIL, asesoris dan/atau perlengkapan MOBIL lainya, termasuk dan tidak terbatas pada tape dan/atau tools set, yang semata-mata timbul akibat kelalaian PIHAK KEDUA, maka seluruh biaya penggantian dan/atau perbaikan tersebut menjadi tanggung jawab PIHAK KEDUA.
F.    PIHAK KEDUA dilarang menjual, mengalihsewakan lebih lanjut atau memberikan hak dan/atau membebani MOBIL dengan agunan atau sebagai jaminan gadai kepada pihak lain.
G.    PIHAK II dilarang merubah atau memodifikasi, termasuk meniadakan atau menambahkan perlengkapan orisinil yang telah terpasang di MOBIL selama masa sewa berlangsung.
H.   PIHAK KEDUA berkewajiban untuk memberitahukan kepada PIHAK PERTAMA bila terjadi hal-hal berikut :
1)    PIHAK KEDUA bermaksud mengganti identitas atau pindah alamat.
2)   Terjadi kehilangan, pencurian, penipuan dan/atau klaim dari pihak ketiga berkenaan dengan MOBIL;
3)   Bermaksud melakukan penggantian atau perubahan atas seluruh atau sebagian yang ada pada MOBIL yang disewanya.

Ayat 2
PIHAK KEDUA wajib menyerahkan kembali MOBIL tersebut kepada PIHAK PERTAMA dalam keadaan jalan, terawat baik, dan kondisinya lengkap seperti ketika PIHAK KEDUA menerimanya dari PIHAK PERTAMA setelah perjanjian sewa-menyewa ini berakhir.

PASAL 8
FORCE MAJEURE

Ayat 1
PIHAK KEDUA dibebaskan dari segala ganti rugi atau tuntutan dari PIHAK PERTAMA akibat kerusakan pada MOBIL yang diakibatkan oleh force majeure.
Yang dimaksud dengan Force majeure adalah:
A.   Bencana alam, seperti: banjir, gempa bumi, tanah longsor, petir, angin topan, serta kebakaran yang disebabkan oleh faktor extern yang mengganggu kelangsungan perjanjian ini.
B.    Huru-hara, kerusuhan, pemberontakan, dan perang.
Ayat 2
Apabila terjadi kehilangan MOBIL karena kelalaian PIHAK KEDUA, maka PIHAK KEDUA diharuskan untuk mengganti dengan MOBIL sejenis dengan tahun pembuatan dan kondisi sesuai atau sebanding dengan MOBIL yang disewanya.

PASAL 9
PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Apabila terjadi perselisihan diantara kedua Pihak, maka akan diupayakan terlebih dahulu melalui musyawarah mufakat. Dan apabila melalui musyawarah mufakat belum ditemukan kesepakatan diantara kedua belah pihak, maka kedua pihak sepakat untuk menyelesaikannya secara hukum dan memilih tempat kedudukan domisili Pengdilan umum dan tetap di Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri Karanganyar.


PASAL 10
LAIN-LAIN

Hal-hal yang belum tercantum dalam perjanjian ini akan diselesaikan secara kekeluargaan atau musyawarah untuk mufakat oleh kedua belah pihak.

PASAL 11
PENUTUP

Demikian Surat Perjanjian ini dibuat, ditandatangani dengan menggunakan materai secukupnya dan dilangsungkan di tempat, pada hari dan tanggal seperti tersebut pada bagian awal akta ini serta telah dibacakan dihadapan para pihak dengan dihadiri oleh serta dibuat rangkap dua, didistribusikan pada para pihak dengan kekuatan hukum yang sama keduanya :

1. …………..,
2. …………..,
Keduanya dalam perjanjian ini sebagai para SAKSI.
Karanganyar, ……………. 2011
PIHAK PERTAMA
PIHAK KEDUA
[ Sulistyo Utomo]
[ Wahyu Fajar Waspodo]
                                                                     
SAKSI-SAKSI
Saksi 1           
Saksi 2
(……………………….)
(……………………….)
                                                                                       

                                                                                    

Kamis, 27 Juni 2013

analisa kasus susno duadji

A. Kronologi Kasus Susno Duadji 1. 29 September 2010 Sidang pertama Susno Duadji digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Susno Duadji didakwa karena telah menerima suap untuk memluskan kasus PT Salmah Arowana Lestari (SAL) dan pemotongan dana pengamanan Pilgup Jawa Barat. 2. 24 Maret 2011 Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis kepada Susno Duadji dengan hukuman penjara selaa 3,5 tahun, dan denda sebesar 200 juta. Susno juga dituntut mengembalikan uang pengganti sebesar 4 miliyar atau 1 tahun hukuman penjara. Dalam Kasus Suap PT Salwah Arowara Lestari (SAL) Susno dinyatakan bersalah karena melanggar pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Sedangkan dalam kasus pemotongan dana pengamanan Pilgup Jawa Barat Susno terbukti melanggar pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 3. 11 November 2011 Banding yang diajukan oleh Susno ditolak Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. 4. 22 November 2012 Mahkamah Agung juga menolak kasasiyang diajukan oleh Susno Duadji. 5. Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta yang dibantu Kejati Jawa Barat dan Kejari Bandung berusaha melakukan eksekusi terhadap Susno Duadji di kediamannya di daerah Dago Pakar, Bandung. Upaya Eksekusi itu dihalang-halangi personel polisi dari Polda Jabar dan Yusril Izha Mahendra. Kemudian Polda Jabar berjanji akan membantu untuk melakukan eksekusi terhadap Susno Duadji. B. Permasalahan Kenapa Susno Duadji yang sudah jelas divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Banding ditolak oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, dan MA menolak Kasasi atas suap untuk memluskan PT Salmah Arowana Lestari (SAL) dan pemotongan dana pengamanan Pilgup Jawa Barat sulit untuk dieksekusi ? C. Analisa Pada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Susno Duadji dengan jelas dinyatakan bersalah dan dihukum pidana 3 tahun 6 bulan penjara atas kasus korupsi penanganan perkara PT Salmah Arowana Lestari dan dana pengamanan Pilkada Jawa Barat pada 2008. Tetapi terdapat perbedaan penafsiran antara Susno Duadji dan Mahkamah Agung. Perbedaan Penafsiran tersebut didasari adanya suatu dasar hukum yaitu Pasal 197 (1) huruf k KUHAP yang menyatakan bahwa “Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”. Pasal inilah yang menjadi dalil Susno Duaji melakukan perlawanan dan tidak mau untuk di eksekusi oleh Jaksa sebagai pelaksana putusan Hakim. Apabila dianalisis dari segi gramatikal maka jelas bahwa dalam Pasal 197 ayat (2) menyatakan Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, i, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum. Kemudian berbeda dengan Susno Duadji Jaksa memiliki penafsiran tersendiri, Jaksa menyatakan bahwa, Res Judicata Pro Veritate Habetur yang artinya “putusan hakim harus dianggap benar” dimana putusan tersebut dijatuhkan, dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kemudian ditambahkan dasar hukum bahwa, Pasal 270 KUHAP yang menyatakan “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya”. Jika mengacu pada pendapat Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), beliau menyatakan bahwa kesalahan penulisan atau pengetikan sepanjang mengenai huruf b, c, d, j, k, dan I tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum. Kesalahan penulisan atau pengetikan terhadap ketentuan-ketentuan ini dapat ditolerir Undang-Undang, seperti yang dapat dilihat dari penjelasan Pasal 197 ayat (2) KUHAP. Bambang Waluyo dalam bukunya Pidana dan Pemidanaan juga menyatakan bahwa, kesepuluh poin tersebut, apabila tidak dipenuhi mengakibatkan putusan batal demi hukum (vide Pasal 197 ayat (2) KUHAP), apabila terjadi kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan maka kekhilafan dan atau kekeliruan penulisan atau pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum kecuali huruf a, e, f, dan h Pasal 197 ayat (2) .KUHAP, item ini harus/ wajib ada dalam suatu putusan. Tidak dimuatnya amar putusan yang menyatakan perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan bukan menjadi suatu sebab suatu putusan batal demi hukum. Hal ini dikarenakan tidak akan mungkin suatu lembaga Mahkamah Agung sebagai Judex Yuris melakukan koreksi atas fakta hukum. Hal itu karena Pasal 254 KUHAP menyatakan bahwa Dalam hal Mahkamah Agung memeriksa permohonan kasasi karena telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245, Pasal 246, dan Pasal 247 mengenai hukumnya Mahkamah Agung dapat memutus menolak atau mengabulkan permohonan kasasi. Sungguh sangat ironis, bahwa terdakwa yang sudah dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana lalu putusannya tidak dapat dieksekusi hanya oleh karena tidak mencantumkan perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan yang sesungguhnya merupakan substansi ikutan dari adanya putusan yang menyatakan terdakwa bersalah dan penjatuhan pidana terhadapnya. Jadi, berdasarkan ketentuan dalam KUHAP dan didukung oleh pendapat para ahli eksekusi terhadap terpidana Susno Duadji adalah sah dan harus dilaksanakan, dan dari pihak terpidana seharusnya bias bersikap kooperatif dalam menanggapi putusan yang telah dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, dan Mahkamah Agung Republik Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Buku : M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan. Banding. Kasasi dan Peninjauan Kembali). Sinar Grafika. Jakarta. 2000. Bambang Waluyo. Pidana dan Pemidanaan. Sinar Grafika. Jakarta. 2004. Peraturan Perundang-undangan : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Media Online : Kompas Forum (forum.kompas.com/nasional/258817-inilah-kronologi-kasus-susno-duadji.html) 2013. Diakses pada hari minggu, 26 Mei 2013. Kurniawan Tri Wibowo. Analisis Eksekusi Kasus Susno Duadji (pengacaraonlincom.blogspot.com/2013/04/analisis-kasus-susno-duadji.html?m=1) diakses pada hari minggu, 26 Mei 2013.

analisa kasus kriminologi

Pura-pura minta uang, bajing loncat sikat HP milik sopir truk Reporter : Pramirvan Datu Aprillatu Sabtu, 20 April 2013 22:13:06 RS alias KP (16) pemuda pengangguran ditangkap anggota Polsek Cilincing, saat kedapatan mencuri handphone di sebuah truk yang sedang mengantre macet di ruas Jalan Raya Cilincing, Koja, Jakarta Utara. Begitu mengetahui HPnya dicuri, Korban, Agus Juliman (23) sopir truk gandeng dengan nomor polisi B 9301 KY segera melapor petugas yang sedang bersiaga, tak jauh dari lokasi kejadian. "Sedang nunggu macet di depan Komplek Dewa Ruci, korban didatangi pelaku yang meminta uang. Setelah dikasih uang Rp 1.000 rupiah, pelaku naik ke ban truk langsung ambil handphone di dashboard mobil," kata Kanit Polsek Cilincing, AKP Imam Tulus kepada wartawan, Jakarta, Sabtu (20/4). Setelah itu, Anggota polisi yang sedang patroli di sekitar wilayah Cilincing, segera menindaklanjuti laporan tersebut. Pelaku berhasil ditangkap bersama barang bukti saat sedang berada di rumahnya, di Tanah Merdeka, Cilincing, Jakarta Utara. "Saat dilakukan pengintaian ternyata RS berada di sekitar rumahnya, sedang mengutak atik handphonenya, kita tanya HP siapa? Nomornya berapa? Pelaku tak bisa menjawab," imbuh Imam. Setelah itu, RS mencoba berlari dan berhasil ditangkap petugas. Selanjutnya korban, pelaku dan barang bukti dibawa ke Polsek Cilincing guna proses penyidikan. Diketahui, pelaku disebut bajing loncat, biasa melompat dari satu truk ke truk yang lain. "Ini bajing loncat, biasanya komplotan dan mengincar muatan truk ataupun barang-barang pribadi milik sopir. barang bukti handphone bermerk ZTE sudah diamankan ke kantor beserta pelaku, "beber Imam. Analisa Kasus: 1. Tipologi Penjahat Ruth Shonle Cavan mengklasifikasi penjahat dalam 9 jenis, diantaranya : 1. The casual offender, pelanggaran kecil sehingga tidak bisa disebut penjahat seperti naik sepeda tidak pakai lampu di malam hari; 2. The occasiona criminal, kejahatan enteng; 3. The episodic criminal, kejahatan karena dorongan nemosi yang hebat, awalnya bercanda akhirnya karena tersinggung membunuh; 4. The white collar crime, menurut Sutherland adalah kejahatan yang dilakukan oleh pengusaha dan pejabat dalam hubungan dengan fungsinya. Menurut Ruth S.Cavan mereka kebal dengan hukum karena punya kekuasaan dan kemampuan materi; 5. The habitual criminal, yang mengulangi kejahatan (residivis); 6. The profesional criminal, kejahatan sebagai mata pencaharian dan mengeai delik ekonomi atau yang berlatar perekonomian; 7. Organized crime, kejahatan dengan suatu organisasi dengan organisator yang mengatur operasi kejahatan; 8. The mentally abnormal criminal, menurut Cavan seperti golongan psychopatis dan psychotis; 9. The nonmalicious criminal, kejahatan yang mempunyai arti relatif, karena ada sebagian bagi kelompok lain itu bukan merupakan kejahatan seperti bugil dalam suatu ritual kepercayaan itu perbuatan suci bagi kelompok lain ini merupakan kejahatan. Dalam hal kasus kriminal diatas dapat terlihat bahwa kejahatan yang dilakukan pemuda dengan inisial RS masuk ke dalam kategori occasional criminal atau kejahatan yang enteng. Pada yahun 2012 Mahkamah Agung juga mengeluarkan PERMA omor 2/2012 tentang pencurian ringan, yang salah satu isinya menyebutkan bahwa pencurian yang nilai barang dibawah 2.500.000 dimasukkan sebagai pencurian ringan, yang sanksinya maksimal 3 bulan penjara. Jadi, kejahatan yang dilakukan oleh RS merupakan occasial Kriminal. 2. kausa kejahatan Sejarah perkembangan akal pemikiran manusia yang menjadi dasar di bangunnya teori- teori kriminologi yakni Kausa dan Teori Kejahatan sebagai berikut : a. Spritualisme Bahwa segala kebaikan bersumber dari Tuhan dan segala keburukan datangnya dari setan, orang yang melakukan dianggap sebagai orang yang telah terkena bujukan setan. Bencana alam dianggap sebagai hukuman atas pelanggaran norma. b. Naturalisme Perkembangan paham rasionalis muncul dari ilmu alam setelah abad pertengahan menyebabkan manusia mencari model penjelasan lain yang lebih rasionil dan mampu secara ilmiah, lahirnya rasionalisme di Eropa menjadikan pendekatan ini mendominasi pemikiran tentang kejahatan pada abad selanjutnya. Pemikiran teoritik kriminologi dapat di bagi secara garis besar yaitu: 1. Madzhab Klasik Pelopornya adalah: Cesare Bonesana, Ma Beccaria dan dimodifikasi oleh madzhab neo klasik melalui code penal Perancis 1819. Pada madzhab ini melihat manusia sebagai mempunyai kebebasan memilih perilaku (free Will0 dan selalu bersikap rasional dan hedonistic (cenderung menghindari segala sesuatu yang menyakitinya). Menurut pandangan ini pemidanaan adalah cara untuk menanggulangi kejahatan, sehingga dapat dikatakan bahwa suatu kejahatan dapat dikurangi atau ditiadakan dengan hukuman atau dengan sanksi yang keras. 2. Madzhab Positif Pelopornya adalah: Cesare Lombroso, dianggap sebagai awal pemikiran ilmiah kriminologi tentang sebab musabab kejahatan. Madzhab ini berkeyakinan bahwa perilaku manusia disebabkan atau ditentukan sebagian oleh faktor- faktor biologis, sebagian besar sebagai bentuk pencerminan karakteristik dunia sosial cultural dimana manusia hidup. Dalam teori ini bahwa kejahatan yang dilakukan oleh seseorang bisa disebabkan oleh pengaruh- pengaruh baik dari dalam maupun dari luar sehingga para pelaku kejahatan tidak dapat hanya di pidana saja, akan tetapi harus dilakukan dengan menyelesaikan penyebab (kausa)nya terlebih dahulu. Jadi dalam teori ini kita harus bisa mencari mengapa seseorang melakukan kejahatan. Aliran positif ini di bagi atas dua pandangan: 1) Determinisme biologis Yaitu teori yang mendasari pemikiran bahwa perilaku manusia sepenuhnya tergantung pada pengaruh biologis yang ada dalam dirinya. 2) Determinisme cultural Yaitu teori yang mendasari pemikirannya pada pengaruh sosial, budaya dan lingkungan dimana seorang hidup. 3. Madzhab Kritikal Menurut madzhab ini tidak penting apakah manusia itu bebas memilih perilakunya (madzhab klasik) atau manusia itu terikat biologis (fisik) saosial dan cultural. Menurut mereka jumlah perbuatan pidana atau kejahatan yang terjadi maupun karakteristik para pelakunya ditentukan terutama oleh bagaimana hukum pidana itu dirumuskan dan dilaksanakan. Dalam kasus diatas pencurian yang dilakukan oleh pemuda pengangguran tersebut terjadi karena faktor ekonomi, dimana seorang pemuda pengangguran yang harus memenuhi kebutuhan sehari-harinya terpaksa melakukan tindak pidan pencurian. Kejahatan bajing loncat biasanya dilakukan secara kelompok, dengan begitu terlihat bahwa kejahatan ini muncul atau timbul dari pengaruh sosial yang berkebang disekitar pemuda tersebut, jadi ini sesuai dengan madzab kritikal determinisme cultural. 3. Upaya Penanggulangan Kejahatan adalah masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat di seluruh negara semenjak dahulu dan pada hakikatnya merupakan produk dari masyarakat sendiri. Kejahatan dalam arti luas, menyangkut pelanggaran dari norma-norma yang dikenal masyarakat, seperti norma-norma agama, norma moral hukum. Norma hukum pada umumnya dirumuskan dalam undang-undang yang dipertanggungjawabkan aparat pemerintah untuk menegakkannya, terutama kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Namun, karena kejahatan langsung mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat, maka wajarlah bila semua pihak baik pemerintah maupun warga masyarakat, karena setiap orang mendambakan kehidupan bermasyarakat yang tenang dan damai. Menyadari tingginya tingkat kejahatan, maka secara langsung atau tidak langsung mendorong pula perkembangan dari pemberian reaksi terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan pada hakikatnya berkaitan dengan maksud dan tujuan dari usaha penanggulangan kejahatan tersebut. Menurut Hoefnagels (Arif, 1991:2) upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan cara : a. Criminal application : (penerapan hukum pidana) Contohnya : penerapan Pasal 354 KUHP dengan hukuman maksimal yaitu 8 tahun baik dalam tuntutan maupun putusannya. b. Preventif without punishment : (pencegahan tanpa pidana) Contohnya : dengan menerapkan hukuman maksimal pada pelaku kejahatan, maka secara tidak langsung memberikan prevensi (pencegahan) kepada publik walaupun ia tidak dikenai hukuman atau shock therapy kepada masyarakat. c. Influencing views of society on crime and punishment (mas media mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mas media). Contohnya : mensosialisasikan suatu undang-undang dengan memberikan gambaran tentang bagaimana delik itu dan ancaman hukumannya. Upaya pencegahan kejahatan dapat berarti menciptakan suatu kondisi tertentu agar tidak terjadi kejahatan. Kaiser (Darmawan, 1994:4) memberikan batasan tentang pencegahan kejahatan sebagai suatu usaha yang meliputi segala tindakan yang mempunyai tujuan yang khusus untuk memperkecil ruang segala tindakan yang mempunyai tujuan yang khusus untuk memperkecil ruang lingkup kekerasan dari suatu pelanggaran baik melalui pengurangan ataupun melalui usaha-usaha pemberian pengaruh kepada orang-orang yang potensial dapat menjadi pelanggar serta kepada masyarakat umum. Penanggulangan kejahatan dapat diartikan secara luas dan sempit. Dalam pengertian yang luas, maka pemerintah beserta masyarakat sangat berperan. Bagi pemerintah adalah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat (Sudarto, 1981:114). Peran pemerintah yang begitu luas, maka kunci dan strategis dalam menanggulangi kejahatan meliputi (Arief, 1991:4), ketimpangan sosial, diskriminasi nasional, standar hidup yang rendah, pengangguran dan kebodohan di antara golongan besar penduduk. Bahwa upaya penghapusan sebab dari kondisi menimbulkan kejahatan harus merupakan strategi pencegahan kejahatan yang mendasar. Secara sempit lembaga yang bertanggung jawab atas usaha pencegahan kejahatan adalah polisi. Namun karena terbatasnya sarana dan prasarana yang dimiliki oleh polisi telah mengakibatkan tidak efektifnya tugas mereka. Lebih jauh polisi juga tidak memungkinkan mencapai tahap ideal pemerintah, sarana dan prasarana yang berkaitan dengan usaha pencegahan kejahatan. Oleh karena itu, peran serta masyarakat dalam kegiatan pencegahan kejahatan menjadi hal yang sangat diharapkan.

Sabtu, 15 Desember 2012

akibat hukum putusan pailit



BAB I
PNDAHULUAN

1.      Latar belakang
Sebagai akibat dari krisis moneter yang berkepanjangan yang dimulai sejak pertengahan tahun 1997 yang lalu, saat makin banyak dunia usaha yang tidak dapat memenuhi kewajibannya. Dalam dunia hukum, debitur yang tidak dapat kewajibannya terhadap kreditur dapat dinyatakan pailit. Karena apabila hal itu dibirkan berlarut-larut akan dapat menggangu tatanan kehidupan ekonomi yang sudah ada.
Setiap debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar dapat dijatuhi putusan kepailitan. Debitur ini dapat berupa perorangan (badan pribadi) maupun badan hukum. Dengan dijatuhkannya putusan pailit oleh Pengadilan Niaga, debitur demi hukum kehilanga haknya untuk berbuat sesuatu terhadap penguasaan dan pengurusan harta kekayaan yang termasuk dalam kepailitan terhitung sejak tanggal kepailitan itu. Kepailitan mengakibatkan seluruh harta kekayaan debitur serta segalasesuatu yang diperoleh selama kepailitan berada dalam sitaan umum sejak saat putusan pernyataan pailit di ucapkan.
Setiap putusan pailit yang dikeluarkan oleh pengadilan memiliki akibat hukum yang bermacam-macam, akibat hukum tersebut adalah konsekuensi dari putusan pailit yang dikeluarkan.
Lembaga kepailitan pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus yaitu:
1)      Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditur bahwa debitur tidak akan berbuat curang. Dan tetap bertanggung jawab terhadap semua hutang-hutangnya kepada semua kreditur.
2)      Kepailitan sebagai lembambaga yang juga memberi perlindungan kepadakreditur terhadap kemungkinan eksekusi masal oleh krediturnya. Jadikeberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atausebagai suatu upaya hukum khusus merupakan satu rangkain konsep yangtaat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan1132 KUH Perdata.
Akibat hukum pernyataan pailit, mengakibatkan debitur demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak pernyataan putusan kepailitan. Akibat hokum ini ada yang berupa akibat hokum secara umum dan akibat hokum secara khusus.

2.      Rumusan Masalah
Beranjak dari paparan diatas maka muncullah beberpaa pertanyaan mengenai bagaimanaka akibat-akibat atau dampak-dampak hukum bagi seorang debitur pailit setelah dikeluarkannya putusan pailit oleh pengadilan niaga, dan bagaimanakah penjelasan secara rinci mengenai akibat hukum dari putusan pailit secara umum serta akibat hukum putusan pailit secara khusus.

3.      Tujuan
Berdasarkan masalah yang telah diuraikan diatas, penyusunan makalah ini diharapkan dapat member gambaran secara jelas apa sajakah dampak hukum bagi seorang debitur pailit setelah dikeluarkannya putusan pailit. Juga untuk memahami lebih lanjut mengenai akibat hukum dari putusan pailit secara umum serta akibat hukum putusan pailit secara khusus.










BAB II
PEMBAHASAN

A. Akibat Kepailitan Secara Umum

1.   Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit
Dengan dijatuhkannya putusan pailit oleh Pengadilan Niaga, debitur demi hukum kehilangan  haknya untuk berbuat sesuatu terhadap penguasaan dan pengurusan harta kekayaan yang termasuk dalam kepailitan terhitung sejak tanggalkepailitan itu. Kepailitan mengakibatkan seluruh harta kekayaan debitur serta segalasesuatu yang diperoleh selama kepailitan berada dalam sitaan umum sejak saatputusan pernyataan pailit di ucapkan, kecuali :

a.       Benda termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitur sehubungan dengan, pekerjaannya perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh debitur dan keluarganya, yang terdapat ditempat itu yang diatur dalam Pasal 22a UU No.37 Tahun 2004.
b.      Segala sesuatu yang diperoleh debitur dari perkerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh Hakim Pengawas. yang diatur dalam Pasal 22 b UU No.37 Tahun 2004.
c.       Atau uang yang diberikan kepada debitur untuk memenuhi suatu kewajiban memberikan nafkah menurut Undang-Undang. yang diatur dalam Pasal 22 c UU No.37 Tahun 2004.

2.   Akibat kepailitan bagi pasangan suami isteri
Debitur pailit yang pada saat dinyatakan pailit sudah terikat dalam suatu perkawinan yang sah dan adanya persatuan harta, kepailitannya juga dapat memberikan akibat hukum terhadap pasangan (suami istri). Pasal 23 UUK menentukan bahwa apabila seseorang dinyatakan pailit, maka yang pailit tersebut termasuk juga istri atau suaminya yang kawin atas dasar persatuan harta. Ketentuan pasal ini membawa konsekuensi yang cukup berat terhadap harta kekayaan suami istri yang kawin dalam persatuan harta. Artinya bahwa seluruh harta istri atau suami yang termasuk dalam persatuan harta perkawinan juga terkena sita kepailitan dan otomatis masuk dalam boedel pailit.
Dalam hal suami atau istri yang dinyatakan pailit, istri atau suami berhak mengambil kembali semua benda bergerak atau tidak bergerak yang merupakan harta bawaan dari istri atau suami dan hartanya diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan. Jika benda milik istri atau suami telah dijual oleh istri atau suami dan harganya belum dibayar atau uang hasil penjualan belum tercampur dalam harta pailit maka istri atau suami berhak mengambil kembali uang hasil penjualan tersebut yang diatur di dalam buku ke III KUHPerdata dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Pasal 25, Pasal 26 dan Pasal 27 UU No.37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan PKPU.

3.   Akibat kepailita terhadap seluruh perikatan yang dibuat oleh debitur pailit
Semua perikatan debitur yang terbit sesudah putusan pernyataan pailit, tidak lagi dapat membayar dari harta pailit, kecuali perikatan tersebut menguntungkan harta pailit (Pasal 26 UUK). Tuntutan mengenai hak dan kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau Kurator. Dalam hal tuntutan tersebut diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap debitur pailit maka apabila tuntutan tersebut mengakibatkan suatu penghukuman terhadap debitur pailit, penghukuman tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit (Pasal 26 Undang-undang Kepailitan).
Dengan demikian, putusan pernyataan pailit berakibat bahwa segala penetapan pelaksanaan pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitor yang telah dimulai sebelum kepailitan harus dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga dengan menyandera debitor. Pihak-pihak yang terkait dalam pengurusan harta pailit dalam penguasaan dan pengurusan harta pailit yang terlibat tidak hanya Kurator, tetapi masih terdapat pihak-pihak lain yang terlibat adalah Hakim Pengawas, kurator dan panitia kreditor.

4.   Akibat kepailitan terhadap seluruh perbuatan hukum debitur sebelum pernyataan pailit
Dalam Pasal 41 ayat (1) UU Kepailitan dinyatakan secara tegas bahwa untuk kepentingan harta pailit, segala perbuatan hukum debitur yang telah dinyatakan pailit, yang merugikan kepentingan kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, dapat dimintai pembatalan oleh kreditor kepada pengadilan.
Kemudian Pasal 42 UU Kepailitan diberikan batasan yang jelas mengenai perbuatan hukum debitur tersebut antara lain :
a.       Bahwa perbuatan hukum tersebut dilakukan dalam jangka waktu 1 Tahun sebelum putusan pernyataan pailit.
b.      Bahwa perbuatan hukum tersebut tidak wajib dilakukan debitur, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
c.       Bahwa debitur dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukandianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor.
d.      Bahwa perbuatan hukum itu dapat berupa :
1)      Merupakan perjanjian dimana kewajiban debitur jauh melebihi kewajiban pihak dengan siapa perjanjian itu dibuat.
2)      Merupakan pembayaran atas atau pemberian jaminan untuk utang yang belum jatuh tempo dan atau belum atau tidak dapat ditagih.
3)      Merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur perorangan.
4)      Merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur yang merupakan badan hukum.
5)      Dilakukan oleh Debitur yang merupakan badan hukum dengan atau terhadap badan hukum lain dalam satu grup dimana debitur adalah anggotanya.
Dari ketentuan Pasal 41 dan 42 Undang-undang Kepailitan, dapat diketahui bahwa sistem pembuktian yang dipakai adalah sistem pembuktian terbalik, artinya beban pembuktian terhadap pembuatan hukum debitur (sebelum putusan pernyataan pailit) tersebut adalah berada pada pundak debitur pailit dan pada pihak ketiga yang melakukan perbuatan hukum dengan debitur apabila perbuatan hukum debitur tersebut dilakukan dalam jangka waktu 1 Tahun (sebelum putusan pernyataan pailit) merugikan kepentingan kreditor, maka debitur dan pihak ketiga wajib membuktikan bahwa perbuatan hukum tersebut wajib dilakukan oleh mereka dan perbuatan hokum tersebut tidak merugikan harta pailit.
Berbeda, apabila perbuatan hukum yang dilakukan debitur dengan pihak ketiga dalam jangka waktu lebih dari 1 tahun sebelum putusan pernyataan pailit, dimana Kurator menilai bahwa perbuatan hukum tersebut merugikan kepentingan kreditor atau harta pailit, maka yang wajib membuktikan adalah Kurator.



B.     Akibat Kepailitan Secara Khusus

1.      Akibat kepailitan terhadap perjanjian timbale balik
Menurut Subekti menerjemahkan istilah overeenkomst dari Bahasa Belanda ke dalam Bahasa Indonesia, yang artinya “Perjanjian”. Pasal 1313 KUH Perdata memberikan definisi perjanjian, yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor). Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri atas satu atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri atas satu atau lebih badan hukum.
Pasal 1314 KUH Perdata berbunyi :
1)      Suatu perjanjian dibuat dengan cuma-cuma atau atas beban.
2)      Suatu perjanjian dengan cuma-cuma adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
3)      Suatu perjanjian atas beban, adalah suatu perjanjian yang  mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
.
Dari rumusan Pasal 1314 KUH Perdata diatas, dapat diketahui bahwa suatu perjanjian dapat bersifat sepihak dan perjanjian yang bersifat timbal balik. Perjanjian yang bersifat sepihak, yaitu suatu perjanjian dimana hanya ada satu pihak yang mempunyai kewajiban atas prestasi terhadap pihak lain. Contohnya perjanjian hibah. Adapun perjanjian yang bersifat timbal balik, yaitu suatu perjanjian dimana kedua belah pihak saling berprestasi. Dalam perjanjian timbal balik (bilateral), selalu ada hak dan kewajiban di satu pihak yang saling berhadapan dengan hak dan kewajiban dipihak lain.
Pasal 36 ayat (1) Undang-undang Kepailitan menentukan bahwa dalam hal pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan, terdapat perjanjian timbal balik yang belum atau baru sebagian dipenuhi, pihak yang mengadakan perjanjian dengan debitur dapat meminta kepada curator untuk memberikan kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut dalam jangka waktu yang disepakati oleh Kurator dan pihak tersebut.
Dalam hal kesepakatan mengenai jangka waktu tersebut tidak tercapai, Hakim Pengawas menetapkan jangka waktu tersebut (Pasal 36 ayat (3) UU Kepailitan). Apabila dalam jangka waktu tersebut, Kurator tidak memberikan jawaban atau tidak bersedia melanjutkan pelaksanaan perjanjian tersebut maka perjanjian berakhir dan pihak dalam perjanjian tersebut dapat menuntut ganti rugi dan akan diperlakukan sebagai kreditor konkuren.
Apabila Kurator menyatakan kesanggupannya atas pelaksanaan perjanjian tersebut, Kurator wajib memberi jaminan atas kesanggupan untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Pelaksanaan perjanjian tersebut tidak meliputi perjanjian yang prestasinya harus dilaksanakan sendiri oleh debitur misalnya debitur adalah seorang penyanyi atau seorang pelukis, dimana debitur diwajibkan untuk melukis wajah pihak tersebut, dalam hal tersebut tidak mungkin bagi Kurator untuk melaksanakan perjanjian.

2.      Akibat kepailitan terhadap barang jenis jaminan
a.       Perjanjian Hibah
Hibah diatur dalam bab ke 10 mulai dari passal 1666-1693 KUH perdata. Pasal 1666 KUH Perdata mendefinisikan hibah sebagai berikut. “Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.
Dari Pasal diatas dapat diketahui bahwa hibah merupakan suatu perjanjian yang bersifat sepihak, yang prestasinya berupa menyerahkan sesuatu, serta antara penghibah dan penerima hibah adalah orang-orang yang masih hidup. Kemudian Pasal 1667 KUHPerdata, menentukan bahwa hibah hanyalah dapat mengenai benda- benda yang sudah ada jika hibah itu meliputi benda-benda yang baru akan ada dikemudian  hari,  hibahnya  adalah  batal.  Dalam  kaitannya  dengan  akibat  dari kepailitan  terhadap  perjanjian  hibah  diatur  dalam  Pasal  43  dan  Pasal  44  Undang-undang Kepailitan.
Dari Pasal tersebut, dapat diketahui bahwa hibah yang dilakukan oleh debitur (pailit) yang akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor, maka hibah semacam itu dapat dimintai pembatalan oleh Kurator kepada pengadilan. Untuk melakukan pembatalan perjanjian hibah tersebut, perlu dibuktikan terlebih dahulu bahwa debitur mengetahui atau patut mengetahui perjanjian tersebut mengakibatkan kerugian bagi kreditor. Untuk melakukan pembatalan perjanjian (hibah) diperlukan suatu lembaga perlindungan hak kreditor dari perbuatan debitor pailit yang merugikan para kreditor.

b.      Perjanjian sewa-menyewa
Perjanjian sewa-menyewa diatur dalam Bab ke 7 mulai dari Pasal 1548 s.d Pasal 1600 KUH Perdata. Pasal 1548 KUH Perdata mendefinisikan perjanjian, sewa- menyewa sebagai berikut “sewa-menyewa ialah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya, semua jenis barang, baik barang bergerak maupun barang yang tidak dapat disewakan”.
Dalam kaitannya antara kepailitan dengan perjanjian sewa, maka dapat dilihat dari 38 Undang-undang Kepailitan. Dalam hal debitur telah menyewa suatu benda (dalam hal ini debitur bertindak sebagai penyewa), maka baik Kurator maupun pihak yang menyewakan benda, dapat menghentikan perjanjian sewa, dengan  syarat  harus adanya pemberitahuan penghentian yang dilakukan sebelum berakhirnya perjanjian sewa tersebut sesuai dengan adat kebiasaan setempat. Jangka waktu pemberitahuan penghentian tersebut harus menurut perjanjian atau menurut kelaziman dalam jangka waktu paling singkat 90 hari. Dalam hal debitur telah membayar uang sewa dimuka (lunas) maka perjanjian sewa tersebut tidak dapat dihentikan lebih awal sebelum berakhirnya jangka waktu yang telah dibayar uang sewa tersebut. Bagaimana nasib orang yang menyewakan benda tersebut, jika uang sewa belum dibayar atau belum lunas dibayar, dalam hal ini utang sewa dari debitur akan menjadi utang  harta pailit (Pasal 38 ayat 4). Dalam arti, orang yang meyewakan benda tersebut dapat tampil sebagai kreditor konkuren.

3.      Akibat Kepailitan Terhadap Hak Jaminan dan Hak Istimewa
Pada saat ini, sistem hukum jaminan Indonesia mengenal 4 (empat) macam jaminan, antara lain :
a.       Hipotik
b.      Gadai
c.       Hak tanggungan
d.      Fidusia
Pihak-pihak yang memegang hak atas jaminan gadai, hipotek, hak tanggungan, atau fidusia berkedudukan sebagai kreditor separatis. Selain kreditor separatis,dalam KUHPerdata juga dikenal dengan nama kreditor konkuren dan kreditor preferen. Kreditor preferen adalah kreditor yang mendapatkan pelunasan terlebih dahulu semata-mata berdasarkan sifat piutangnya. Untuk mengetahui siapa saja yang berkedudukan sebagai kreditor preferen dapat dilihat dalam Pasal 1133, 1134, 1139 dan 1149 KUH Perdata. Adapaun kreditor konkuren adalah kreditor yang mempunyai kedudukan yang sama dan tidak mempunyai hak untuk didahulukan dari pada kreditor lain.
 Dalam Pasal 55 Undang-undang Kepailitan ditentukan bahwa setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainya,  dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, kecuali dalam hal penagihan suatu piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 dan 137, kreditor separatis tesebut hanya dapat mengeksekusi setelah dicocokan penagihannya dan hanya untuk mengambil pelunasan dari jumlah yang diakui dari penagihan tersebut.
Didalam ketentuan Pasal 32 jo Pasal 31 ayat (1) No. 37 Undang-undang Kepailitan tahun 2004 disebutkan, putusan pernyataan pailit berakibat, bahwa segala putusan hakim menyangkut setiap bagian harta kekayaan debitur yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus segera dihentikan dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan tersebut atau juga dengan menyandera debitor. Dalam penjelasan ayat (1) menyebutkan dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, ketentuan ini tidak berlaku bagi kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik atau hak anggunan atas kebendaan  lainya dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.
Kepailitan hanya mengenai harta kekayaan dan bukan kekayaan dan bukan mengenai perorangan debitur, ia tetap dapat melaksanakan hukum kekayaan yang lain, seperti hak-hak yang timbul dari kekuasaan orang tuanya. Pengurusan benda- benda anaknya tetap padanya, seperti ia melaksanakan sebagai wali, tuntutan perceraian atau perpisahan ranjang dan meja diwujudkan oleh dan padanya
Dengan kata lain, akibat kepailitan hanyalah terhadap kekayaan debitur. Debitur   tidaklah berada dibawah pengampunan. Debitur tidaklah kehilangan kemampuannya untuk melakukan perbuatan hukum menyangkut dirinya, kecuali apabila perbuatan hukum menyangkut pengurusan dan pengalihan harta bendanya yang telah ada. Apabila menyangkut harta benda yang akan diperolehnya debitur pailit tetap berwenang bertindak sepenuhnya akan tetapi tindakan-tindakannya tidak mempengaruhi harta kekayaan yang telah disita.
Dengan pernyataan pailit, debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukan dalam kepailitan, terhitung sejak tanggal kepailitan itu, termasuk juga untuk kepentingan perhitungan hari pernyataan itu sendiri. Pasal 67 ayat (1) Undang-undang Kepailitan menerangkan bahwa yang berwenang melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit.
Dengan demikian, debitur, debitur kehilangan hak menguasai harta yang masuk dalam kepailitan, namun tidak kehilangan hak atas harta kekayaan yang berada diluar kepailitan. Tentang harta kepailitan, lebih lanjut  dalam pasal 19 Undang-undang Kepailitan menerangkan bahwa harta pailit meliputi semua harta kekayaan debitur, yang ada pada saat pernyataan pailit diucapkan serta semua kekayaan yang diperolehnya selama kepailitan. Kendati telah ditegaskan bahwa dengan dijatuhkannya putusan kepailitan harta kekayaan debitur pailit akan di urus dan di kuasai oleh Kurator, namun tidak semua kekayaan debitur pailit diserahkan ke Kurator. Ada beberapa harta yang dengan tegas dikecualikan dari kepailitan yaitu :
1.    Alat perlengkapan tidur dan pakaian sehari-hari
2.    Alat perlengkapan kerja
3.      Persediaan makanan untuk kira-kira sebulan
4.      Gaji, upah, pensiun, uang jasa, dan honorium
5.      Hak cipta
6.      Sejumlah uang yang ditentukan oleh Hakim Pengawas untuk nafkah (debitur)
7.      Sejumlah uang yang diterima dari pendapatan anak-anak

Demikian pula hak-hak pribadi debitur yang tidak dapat menghasilkan kekayaan atau barang-barang milik pihak ketiga yang kebetulan berada ditangan si pailit, tidak dapat dikenakan eksekusi, misalnya hak pakai dan hak mendiami rumah. Untuk kepentingan harta pailit, semua perbuatan hukum debitur yang dilakukan sebelum pernyataan pailit diterapkan, yang merugikan dapat dimintakan pembatalannya. Pembatalan tersebut hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa debitur dan dengan siapa perbuatan tersebut merugikan kreditor.
Dalam Pasal 19 Undang-undang Kepailitan No. 4 Tahun 1998 jo Pasal 21 Undang-undang Kepailitan No. 37 Tahun 2004, kepailitan meliputi seluruh harta kekayaan debitur pada saat pernyataan pailit itu diputuskan beserta semua kekayaan yang diperoleh selama kepailitan itu. Yang dimaksud dengan semua kekayaan yang diperoleh selama kepailitan, misalnya warisan. Menurut Pasal 40 Undang-undang Kepailitan No. 37 Tahun 2004, segala warisan yang selama kepailitan  menjadi  hak  debitur  pailit,  tidak  boleh  diterima  oleh  Kurator, kecuali apabila mengguntungkan harta pailit. Sedangkan untuk menolak warisan, Kurator memerlukan izin dari Hakim Pengawas.

C.    Akibat Kepailitan Terhadap Kewenangan Berbuat Debitur Pailit Dalam Bidang Hukum Kekayaan

Setelah keputusan pernyataan pailit, debitur dalam batas-batas tertentu masih dapat  melakukan  perbuatan  hukum  kekayaan  sepanjang  perbuatan  tersebut  akan mendatangkan keuntungan bagi harta pailit. Sebaliknya apabila perbuatan hukum tersebut akan merugikan harta pailit Kurator dapat diminta pembatalan atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur pailit. Pembatalan tersebut bersifat relatif, artinya hal itu hanya dapat digunakan untuk kepentingan harta pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 41 UUK No.37 Tahun 2004.
Orang yang mengadakan transaksi dengan debitur tidak dapat mempergunakan alasan itu untuk meminta pembatalan. Tindakan Kurator tersebut disebut Actio Paulina. Pengaturan tentang Actio Paulina   tersebut ada dalam Pasal 1341 KUHPerdata dan Pasal 41-45 Undang-undang Kepailitan. Dalam Pasal 41, menyebutkan bahwa untuk kepentingan harta pailit dapat dimintakan pembatalan atas segala perbuatan hukum debitur yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kreditur, yang dilakukan sebelum pernyataan pailit di tetapkan.
Pembatalan tersebut hanya dilakukan, apabila dapat dibuktikan bahwa, pada saat perbuatan hukum tersebut itu dilakukan, debitur dan pihak dengan siapa perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur (ayat 2). Oleh debitur berdasarkan Undang-undang, misalnya kewajiban membayar pajak, tidak dapat dimintakan pembatalan (ayat 3).
Apabila perbuatan hukum yang merugikan kreditor dilakukan dalam jangka 1 (satu) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapakan, sedangkan perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan debitor, kecuali dapat dibuktikan sebalikanya, debitor dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur.
Perbuatan yang dimaksud menurut Pasal 42 Undang-undang Kepailitan No. 37 Tahun 2004 adalah :
1)      Merupakan perjanjian dimana kewajiban debitor jauh melebihi kewajiban pihak dengan siapa perjanjian tersebut dibuat : misalnya debitur menjual barang jauh dibawah harga.
2)      Merupakan pembayaran atas, atau pemberian jaminan untuk utang yang belum jatuh tempo dan atau belum atau tidak dapat di tagih.
3)      Dilakukan oleh debitor perorangan, dengan atau untuk kepentingan :
a.       Suami atau istrinya, anak angkat, atau keluarganya sampai derajat ketiga.
b.      Suatu badan hukum dimana debitur atau pihak sebagaimana dimaksud pada (angka 1) adalah anggota direksi, atau pengurus atau apabila pihak tersebut baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepailitan badan hukum tersebut lebih dari 50 % dari modal yang disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut.
4)      Dilakukan oleh debitur yang merupakan badan hukum, dengan atau untuk kepentingan :
a.       Anggota direksi atau pengurus dari debitor, suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga dari anggota direksi atau pengurus.
b.      Perorangan, baik sendiri atau bersama-sama dengan suami atau istri,  anak anggkat atau keluarga sampai derajat ketiga, yang ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan pada debitur lebih dari 50 % dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut.
c.       Perorangan yang suami atau istri, anak angkat, atau keluarganya sampai derajat ketiga, ikut serta secara langsung dalam kepemilikan pada debitur lebih dari 50% dari modal disetor atau dalam pengedalian badan hukum tersebut.
5)      Dilakukan oleh debitur yang merupakan badan hukum dengan atau untuk kepentingan badan hukum lainnya, apabila :
a.       Perorangan anggota direksi atau pengurus pada kedua badan usaha tersebut adalah orang yang sama.
b.      Suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga dari perorangan anggota direksi atau pengurus debitor yang juga merupakan anggota direksi atau pengurus debitor yang juga merupakan anggota direksi atau pengurus pada badan hukum lainnya, atau sebalikanya.
c.       Perorangan anggota direksi atau pengurus, atau anggota badan pengawas pada debitur, atau suami, atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga, baik sendiri atau bersama-sama, ikut serta secara langsung dalam kepemilikan badan hukum lainnya lebih dari 50 % (lima puluh persen) dari modal atau dalam pengendalian badan hukum tersebut, atau sebaliknya.
d.      Debitor adalah anggota direksi atau pengurus pada bahan hukum lainnya, atau sebaliknya
e.       Badan hukum yang sama, atau perorangan yang sama baik bersama, atau tidak dengan suami atau istrinya, dan atau para anak angkatnya dan keluarganya sampai derajat ketig ikut serta langsung atau tidak langsung dalam kedua badan tersebut paling kurang sebesar 50 % dari modal yang disetor.
6)      Dilakukan oleh debitur yang merupakan badan hukum dengan atau terhadap badan hukum lain dalam satu grup dimana debitor adalah dalam penerapan ketentuan ini, suatu badan hukum yang merupakan anggota direksi yang berbentuk badan hukum diperlukan sebagai direksi yang berbentuk badan hukum tersebut.
7)      Ketentuan dalam angka 3, 4, 5,dan 6 berlaku mutatis mutandis dalam hal dilakukan oleh debitor dengan atau untuk kepentingan :
a.       Anggota pengurus dari suatu badan hukum, suami atau istri, anak angkat atau keluarga sampai derajat ketiga dari anggota pengurus tersebut.
b.      Perorangan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ktiga yang ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam pengendalian badan hukum tersebut.

Menurut Pasal 43 UUK No. 37 Tahun 2004, hibah yang dilakukan debitur dapat dimintakan pembatalannya, apabila Kurator dapat membuktikan bahwa pada saat hibah tersebut dilakukan, debitur mengetahui atau patut mengetahui bahwa tindakan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur.
Dengan ketentuan tersebut, maka Kurator tidak perlu membuktikan bahwa penerima hibah mengetahui atau patut mengetahui bahwa tindakan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur. Kecuali apabila dapat dibuktikan sebaliknya, debitur dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah tersebut merugikan kreditur apabila hibah tersebut dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sebelum putusan pernyataan pailit ditetapkan.
Selanjutnya dalam Pasal 45 Undang-undang Kepailitan No.37 Tahun 2004, ditentukan mengenai pembatalan pembayaran utang oleh debitur pailit hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa penerima pembayaran itu mengetahui bahwa debitur pailit telah mengajukan laporan permohonan pernyataan pailit, atau bila pembayaran itu merupakan akibat suatu perundingan antara debitur dan kreditur, serta pembayaran itu memberikan keuntungan kepada kreditur yang bersangkutan yang mendahulukan pembayaran di atas para kreditur lainnya.
Akan tetapi penagihan kembali tersebut tidak dapat dilakukan dari seseorang pemegang surat perintah pembayaran atau surat perintah pembayaran atau surat pemegang-pemegangnya dahulu, diwajibkan menerima pembayaran. Kecuali apabila dapat dibuktikan bahwa surat-surat berharga tersebut dikeluarkan karena penerima pembayaran mengetahui bahwa debitur telah mengajukan permohonan paiit atau surat beharga tersebut dikeluarkan atas perundingan antara debitur dan kreditur, maka dalam hal ini orang yang mendapat keuntungan dari pengeluaran surat berharga itu wajib mengembalikan jumlah tersebut kepada harta pailit.





BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penyusun, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa akibat hukum dari putusan pailit dari pengadilan niaga bagi seorang debitur pailit itu dikelopmpokkan menjadi tiga kelompok, yaitu :
1.   Akibat hukum kepailitan secara umum
2.   Akibat hukum kepailitan secara khusus, dan
3.   Akibat hikum kepailitan terhadap kewenangan berbuat debitur pailit dalam ranah hikum kekayaan.
Berdasarkan pembagian kelompok besar tersebut masing-masing dibagi lagi secara rinci dan jelas.
Pada intinya kepailitan mengakibatkan debitur yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga kehilangan segala “hak perdata” untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah dimasukkan ke dalam harta pailit.














DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku :
Hartono, Siti Soemarti, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Yogyakarta : Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum UGM, 1983.
Yani, Ahmad., Widjaja, Gunawan, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1999.

Peraturan Perundang-undangan :
1.      Kitab Undang-undang Hukum Perdata ( KUHPerdata)
2.      Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD)
3.      Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran.
4.      Undang-undang Nomor 4 tahun 1998 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang tentang Kepailitan menjadi Undang-undang.

Media Online :

Bayu,l, 2011, Makalah Hukum Kepailitan, (http://bayucahlacdaz.blogspot.com/2011/02/makalah-hukum-kepailitan.html diakses pada tanggal 15 Desember 2012)

Hukum Area, Hukum Kepailitan : Pengantar (http://hukum-area.blogspot.com/2009/11/hukum-kepailitan-pengantar.html diakses pada tanggal 15 Desember 2012)