BAB I
PNDAHULUAN
1.
Latar belakang
Sebagai akibat
dari krisis moneter yang berkepanjangan yang dimulai sejak pertengahan tahun
1997 yang lalu, saat makin banyak dunia usaha yang tidak dapat memenuhi
kewajibannya. Dalam dunia hukum, debitur yang tidak dapat kewajibannya terhadap
kreditur dapat dinyatakan pailit. Karena apabila hal itu dibirkan
berlarut-larut akan dapat menggangu tatanan kehidupan ekonomi yang sudah ada.
Setiap debitur
yang berada dalam keadaan berhenti membayar dapat dijatuhi putusan kepailitan.
Debitur ini dapat berupa perorangan (badan pribadi) maupun badan hukum. Dengan dijatuhkannya putusan pailit oleh Pengadilan Niaga,
debitur demi hukum kehilanga haknya untuk berbuat sesuatu terhadap penguasaan dan
pengurusan harta kekayaan yang termasuk dalam kepailitan terhitung sejak
tanggal kepailitan itu. Kepailitan mengakibatkan seluruh harta kekayaan debitur
serta segalasesuatu yang diperoleh selama kepailitan berada dalam sitaan umum
sejak saat putusan pernyataan pailit di ucapkan.
Setiap
putusan pailit yang dikeluarkan oleh pengadilan memiliki akibat hukum yang
bermacam-macam, akibat hukum tersebut adalah konsekuensi dari putusan pailit
yang dikeluarkan.
Lembaga kepailitan pada
dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi terhadap para
pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar lembaga kepailitan pada
dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus yaitu:
1)
Kepailitan
sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditur bahwa debitur tidak akan
berbuat curang. Dan tetap bertanggung jawab terhadap semua hutang-hutangnya
kepada semua kreditur.
2)
Kepailitan
sebagai lembambaga yang juga memberi perlindungan kepadakreditur terhadap
kemungkinan eksekusi masal oleh krediturnya. Jadikeberadaan ketentuan tentang
kepailitan baik sebagai suatu lembaga atausebagai suatu upaya hukum khusus
merupakan satu rangkain konsep yangtaat asas sesuai dengan ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan1132 KUH Perdata.
Akibat hukum pernyataan pailit, mengakibatkan debitur demi hukum
kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam
kepailitan, terhitung sejak pernyataan putusan kepailitan. Akibat hokum ini ada
yang berupa akibat hokum secara umum dan akibat hokum secara khusus.
2.
Rumusan Masalah
Beranjak
dari paparan diatas maka muncullah beberpaa pertanyaan mengenai bagaimanaka
akibat-akibat atau dampak-dampak hukum bagi seorang debitur pailit setelah
dikeluarkannya putusan pailit oleh pengadilan niaga, dan bagaimanakah
penjelasan secara rinci mengenai akibat hukum dari putusan pailit secara umum
serta akibat hukum putusan pailit secara khusus.
3.
Tujuan
Berdasarkan
masalah yang telah diuraikan diatas, penyusunan makalah ini diharapkan dapat
member gambaran secara jelas apa sajakah dampak hukum bagi seorang debitur
pailit setelah dikeluarkannya putusan pailit. Juga untuk memahami lebih lanjut
mengenai akibat hukum dari putusan pailit secara umum serta akibat hukum
putusan pailit secara khusus.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Akibat Kepailitan Secara Umum
1.
Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit
Dengan dijatuhkannya putusan pailit oleh Pengadilan
Niaga, debitur demi hukum kehilangan
haknya untuk berbuat sesuatu terhadap penguasaan dan pengurusan harta
kekayaan yang termasuk dalam kepailitan terhitung sejak tanggalkepailitan itu.
Kepailitan mengakibatkan seluruh harta kekayaan debitur serta segalasesuatu
yang diperoleh selama kepailitan berada dalam sitaan umum sejak saatputusan
pernyataan pailit di ucapkan, kecuali :
a.
Benda termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitur
sehubungan dengan, pekerjaannya perlengkapannya, alat-alat medis yang
dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang
dipergunakan oleh debitur dan keluarganya, yang terdapat ditempat itu yang
diatur dalam Pasal 22a UU No.37 Tahun 2004.
b.
Segala sesuatu yang diperoleh debitur dari perkerjaannya sendiri
sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang
tunggu tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh Hakim Pengawas. yang diatur dalam
Pasal 22 b UU No.37 Tahun 2004.
c.
Atau uang yang diberikan kepada debitur untuk memenuhi suatu
kewajiban memberikan nafkah menurut Undang-Undang. yang diatur dalam Pasal 22 c
UU No.37 Tahun 2004.
2.
Akibat kepailitan bagi pasangan suami isteri
Debitur pailit yang pada saat dinyatakan pailit sudah
terikat dalam suatu perkawinan yang sah dan adanya persatuan harta,
kepailitannya juga dapat memberikan akibat hukum terhadap pasangan (suami
istri). Pasal 23 UUK menentukan bahwa apabila seseorang dinyatakan pailit, maka
yang pailit tersebut termasuk juga istri atau suaminya yang kawin atas dasar
persatuan harta. Ketentuan pasal ini membawa konsekuensi yang cukup berat
terhadap harta kekayaan suami istri yang kawin dalam persatuan harta. Artinya
bahwa seluruh harta istri atau suami yang termasuk dalam persatuan harta
perkawinan juga terkena sita kepailitan dan otomatis masuk dalam boedel pailit.
Dalam hal suami atau istri yang dinyatakan pailit,
istri atau suami berhak mengambil kembali semua benda bergerak atau tidak bergerak
yang merupakan harta bawaan dari istri atau suami dan hartanya diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan. Jika benda milik istri atau suami
telah dijual oleh istri atau suami dan harganya belum dibayar atau uang hasil
penjualan belum tercampur dalam harta pailit maka istri atau suami berhak
mengambil kembali uang hasil penjualan tersebut yang diatur di dalam buku ke
III KUHPerdata dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Pasal 25, Pasal
26 dan Pasal 27 UU No.37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan PKPU.
3.
Akibat
kepailita terhadap seluruh perikatan yang dibuat oleh debitur pailit
Semua perikatan debitur yang terbit sesudah putusan
pernyataan pailit, tidak lagi dapat membayar dari harta pailit, kecuali perikatan tersebut
menguntungkan harta pailit (Pasal 26 UUK). Tuntutan mengenai hak dan kewajiban
yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau Kurator. Dalam hal
tuntutan tersebut diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap debitur pailit
maka apabila tuntutan tersebut mengakibatkan suatu penghukuman terhadap debitur
pailit, penghukuman tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit
(Pasal 26 Undang-undang Kepailitan).
Dengan demikian, putusan
pernyataan pailit berakibat bahwa segala penetapan pelaksanaan pengadilan
terhadap setiap bagian dari kekayaan debitor yang telah dimulai sebelum
kepailitan harus dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada putusan yang dapat
dilaksanakan termasuk atau juga dengan menyandera debitor. Pihak-pihak yang
terkait dalam pengurusan harta pailit dalam penguasaan dan pengurusan harta
pailit yang terlibat tidak hanya Kurator, tetapi masih terdapat pihak-pihak
lain yang terlibat adalah Hakim Pengawas, kurator dan panitia kreditor.
4. Akibat kepailitan terhadap seluruh
perbuatan hukum debitur sebelum pernyataan pailit
Dalam Pasal 41 ayat (1) UU Kepailitan dinyatakan secara
tegas bahwa untuk kepentingan harta pailit, segala perbuatan hukum debitur yang
telah dinyatakan pailit, yang merugikan kepentingan kreditor, yang dilakukan
sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, dapat dimintai pembatalan oleh
kreditor kepada pengadilan.
Kemudian Pasal 42 UU Kepailitan diberikan batasan yang
jelas mengenai perbuatan hukum debitur tersebut antara lain :
a.
Bahwa perbuatan hukum tersebut dilakukan dalam jangka waktu 1
Tahun sebelum putusan pernyataan pailit.
b.
Bahwa perbuatan hukum tersebut tidak wajib dilakukan debitur,
kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
c.
Bahwa debitur dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut
dilakukandianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan
tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor.
d.
Bahwa perbuatan hukum itu dapat berupa :
1)
Merupakan perjanjian dimana kewajiban debitur jauh melebihi
kewajiban pihak dengan siapa perjanjian itu dibuat.
2)
Merupakan pembayaran atas atau pemberian jaminan untuk utang yang
belum jatuh tempo dan atau belum atau tidak dapat ditagih.
3)
Merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur perorangan.
4)
Merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur yang
merupakan badan hukum.
5)
Dilakukan oleh Debitur yang merupakan badan hukum dengan atau
terhadap badan hukum lain dalam satu grup dimana debitur adalah anggotanya.
Dari ketentuan Pasal 41 dan 42 Undang-undang
Kepailitan, dapat diketahui bahwa sistem pembuktian yang dipakai adalah sistem
pembuktian terbalik, artinya beban pembuktian terhadap pembuatan hukum debitur
(sebelum putusan pernyataan pailit) tersebut adalah berada pada pundak debitur
pailit dan pada pihak ketiga yang melakukan perbuatan hukum dengan debitur
apabila perbuatan hukum debitur tersebut dilakukan dalam jangka waktu 1 Tahun
(sebelum putusan pernyataan pailit) merugikan kepentingan kreditor, maka debitur
dan pihak ketiga wajib membuktikan bahwa perbuatan hukum tersebut wajib
dilakukan oleh mereka dan perbuatan hokum tersebut tidak merugikan harta
pailit.
Berbeda, apabila perbuatan hukum yang dilakukan debitur
dengan pihak ketiga dalam jangka waktu lebih dari 1 tahun sebelum putusan
pernyataan pailit, dimana Kurator menilai bahwa perbuatan hukum tersebut
merugikan kepentingan kreditor atau harta pailit, maka yang wajib membuktikan
adalah Kurator.
B.
Akibat Kepailitan Secara Khusus
1.
Akibat
kepailitan terhadap perjanjian timbale balik
Menurut Subekti menerjemahkan istilah overeenkomst dari Bahasa Belanda ke dalam Bahasa Indonesia, yang artinya “Perjanjian”. Pasal 1313 KUH Perdata memberikan
definisi perjanjian, yaitu
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Rumusan tersebut
memberikan
konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak,
dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor). Masing-masing
pihak tersebut dapat terdiri atas satu atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya
ilmu hukum, pihak tersebut dapat
juga terdiri
atas satu atau lebih badan hukum.
Pasal 1314
KUH Perdata berbunyi
:
1)
Suatu perjanjian dibuat
dengan cuma-cuma atau atas beban.
2)
Suatu perjanjian dengan cuma-cuma adalah suatu perjanjian dengan mana pihak
yang satu memberikan
suatu keuntungan kepada pihak yang lain,
tanpa menerima suatu manfaat
bagi dirinya sendiri.
3)
Suatu perjanjian atas
beban, adalah suatu perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu,
berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
.
Dari rumusan Pasal 1314 KUH Perdata diatas, dapat diketahui bahwa suatu
perjanjian dapat bersifat sepihak dan perjanjian yang bersifat
timbal balik. Perjanjian
yang bersifat sepihak, yaitu suatu
perjanjian dimana hanya ada satu pihak
yang mempunyai kewajiban
atas prestasi terhadap
pihak lain. Contohnya perjanjian hibah. Adapun perjanjian yang
bersifat timbal balik, yaitu suatu perjanjian dimana kedua belah
pihak saling berprestasi. Dalam perjanjian timbal balik (bilateral), selalu ada hak
dan kewajiban di satu pihak yang saling berhadapan
dengan hak dan kewajiban dipihak lain.
Pasal 36 ayat (1) Undang-undang Kepailitan menentukan
bahwa dalam hal pada saat
putusan pernyataan pailit diucapkan, terdapat
perjanjian timbal balik yang belum atau
baru sebagian dipenuhi, pihak yang mengadakan
perjanjian dengan debitur dapat
meminta kepada
curator untuk memberikan
kepastian tentang kelanjutan
pelaksanaan perjanjian tersebut
dalam jangka waktu yang disepakati oleh Kurator dan pihak tersebut.
Dalam hal kesepakatan mengenai jangka waktu tersebut tidak tercapai, Hakim Pengawas
menetapkan jangka waktu tersebut (Pasal 36 ayat (3) UU Kepailitan).
Apabila dalam jangka waktu tersebut, Kurator tidak memberikan jawaban atau tidak
bersedia melanjutkan pelaksanaan perjanjian tersebut maka perjanjian berakhir dan pihak
dalam perjanjian tersebut dapat menuntut ganti rugi dan akan diperlakukan
sebagai kreditor konkuren.
Apabila Kurator
menyatakan kesanggupannya atas pelaksanaan perjanjian tersebut, Kurator wajib memberi jaminan atas kesanggupan
untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Pelaksanaan
perjanjian tersebut tidak meliputi perjanjian yang prestasinya
harus dilaksanakan sendiri oleh debitur misalnya
debitur adalah seorang
penyanyi atau seorang pelukis, dimana debitur diwajibkan
untuk melukis wajah pihak tersebut, dalam
hal tersebut tidak mungkin bagi Kurator untuk melaksanakan
perjanjian.
2.
Akibat kepailitan terhadap barang jenis jaminan
a.
Perjanjian Hibah
Hibah diatur dalam
bab ke 10 mulai dari passal 1666-1693 KUH perdata. Pasal 1666 KUH Perdata mendefinisikan
hibah sebagai berikut. “Hibah adalah suatu
perjanjian dengan mana si
penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali,
menyerahkan sesuatu benda guna keperluan
si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.
Dari Pasal diatas dapat diketahui bahwa hibah merupakan suatu
perjanjian yang bersifat sepihak, yang prestasinya berupa menyerahkan sesuatu, serta antara penghibah dan penerima hibah adalah orang-orang
yang masih hidup. Kemudian
Pasal 1667 KUHPerdata, menentukan bahwa hibah hanyalah dapat mengenai benda-
benda yang sudah ada jika hibah
itu meliputi benda-benda yang baru akan ada dikemudian
hari,
hibahnya adalah
batal.
Dalam
kaitannya dengan
akibat
dari kepailitan
terhadap perjanjian hibah
diatur dalam Pasal 43 dan Pasal
44
Undang-undang
Kepailitan.
Dari Pasal tersebut, dapat diketahui bahwa hibah yang dilakukan oleh debitur (pailit) yang akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor, maka hibah semacam
itu dapat dimintai pembatalan oleh Kurator kepada pengadilan. Untuk melakukan
pembatalan perjanjian hibah
tersebut, perlu dibuktikan terlebih dahulu bahwa debitur mengetahui
atau patut mengetahui perjanjian tersebut mengakibatkan kerugian bagi
kreditor. Untuk melakukan
pembatalan perjanjian (hibah) diperlukan suatu lembaga
perlindungan hak kreditor dari perbuatan debitor pailit yang
merugikan para kreditor.
b.
Perjanjian sewa-menyewa
Perjanjian sewa-menyewa diatur dalam
Bab ke 7 mulai dari Pasal 1548 s.d
Pasal 1600 KUH Perdata. Pasal 1548 KUH
Perdata mendefinisikan perjanjian,
sewa- menyewa sebagai berikut
“sewa-menyewa ialah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainya kenikmatan
dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran
sesuatu harga, yang oleh pihak
tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya,
semua jenis barang, baik barang bergerak maupun barang yang tidak dapat disewakan”.
Dalam kaitannya antara kepailitan dengan perjanjian sewa, maka dapat dilihat dari
38 Undang-undang Kepailitan. Dalam hal
debitur telah menyewa suatu benda (dalam
hal ini
debitur bertindak sebagai penyewa), maka baik Kurator maupun pihak yang
menyewakan benda, dapat menghentikan perjanjian sewa, dengan
syarat harus adanya pemberitahuan
penghentian yang dilakukan
sebelum berakhirnya perjanjian
sewa tersebut sesuai dengan adat kebiasaan setempat. Jangka waktu pemberitahuan
penghentian tersebut harus menurut perjanjian atau menurut kelaziman dalam jangka waktu paling singkat 90 hari. Dalam hal debitur telah membayar uang sewa dimuka (lunas) maka perjanjian sewa tersebut tidak dapat dihentikan lebih awal sebelum berakhirnya jangka waktu yang
telah dibayar uang sewa tersebut.
Bagaimana nasib orang yang menyewakan benda tersebut, jika uang sewa belum dibayar atau belum
lunas dibayar, dalam hal
ini utang sewa dari debitur akan menjadi utang harta
pailit (Pasal 38 ayat 4). Dalam
arti, orang yang meyewakan benda tersebut
dapat tampil sebagai kreditor konkuren.
3.
Akibat Kepailitan Terhadap Hak Jaminan dan
Hak Istimewa
Pada saat ini, sistem hukum jaminan Indonesia mengenal 4 (empat) macam jaminan,
antara lain :
a.
Hipotik
b.
Gadai
c.
Hak tanggungan
d.
Fidusia
Pihak-pihak
yang memegang hak atas jaminan gadai, hipotek,
hak tanggungan, atau fidusia berkedudukan sebagai kreditor separatis. Selain kreditor
separatis,dalam KUHPerdata
juga dikenal dengan nama kreditor
konkuren dan kreditor preferen. Kreditor preferen adalah kreditor yang mendapatkan pelunasan terlebih dahulu semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.
Untuk mengetahui siapa saja
yang berkedudukan sebagai kreditor preferen dapat dilihat dalam Pasal 1133, 1134, 1139 dan 1149 KUH Perdata. Adapaun kreditor konkuren
adalah kreditor yang mempunyai kedudukan yang sama dan tidak mempunyai hak untuk didahulukan dari
pada kreditor lain.
Dalam Pasal 55 Undang-undang Kepailitan ditentukan bahwa setiap kreditor pemegang
gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan
atas kebendaan lainya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah
tidak terjadi kepailitan,
kecuali dalam hal penagihan suatu piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 dan 137,
kreditor separatis tesebut hanya dapat mengeksekusi setelah dicocokan penagihannya
dan hanya untuk mengambil
pelunasan dari jumlah
yang diakui dari penagihan tersebut.
Didalam ketentuan Pasal 32 jo Pasal 31 ayat (1) No. 37 Undang-undang Kepailitan tahun 2004 disebutkan, putusan pernyataan
pailit berakibat, bahwa segala putusan hakim menyangkut setiap bagian harta kekayaan
debitur yang telah dimulai sebelum
kepailitan, harus segera
dihentikan dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat
dilaksanakan tersebut atau juga dengan menyandera debitor. Dalam penjelasan ayat
(1) menyebutkan dengan tidak
mengurangi ketentuan
Pasal 56, Pasal
57, dan Pasal 58, ketentuan ini tidak berlaku bagi kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia,
hak tanggungan, hipotik atau hak anggunan atas kebendaan lainya dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi
kepailitan.
Kepailitan hanya mengenai harta
kekayaan dan bukan kekayaan dan bukan mengenai perorangan debitur, ia tetap dapat
melaksanakan hukum kekayaan yang
lain, seperti hak-hak yang timbul dari kekuasaan orang tuanya. Pengurusan benda-
benda anaknya tetap padanya, seperti ia
melaksanakan sebagai wali, tuntutan perceraian atau perpisahan ranjang
dan meja diwujudkan oleh
dan padanya
Dengan kata lain, akibat kepailitan hanyalah terhadap kekayaan debitur.
Debitur tidaklah berada dibawah
pengampunan. Debitur tidaklah kehilangan kemampuannya untuk melakukan perbuatan hukum menyangkut dirinya, kecuali
apabila perbuatan hukum menyangkut pengurusan dan pengalihan harta bendanya
yang telah ada. Apabila menyangkut
harta benda yang akan diperolehnya
debitur pailit tetap berwenang bertindak sepenuhnya akan tetapi tindakan-tindakannya
tidak mempengaruhi harta kekayaan yang telah disita.
Dengan pernyataan
pailit, debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus
kekayaannya yang dimasukan
dalam kepailitan, terhitung sejak tanggal kepailitan
itu, termasuk juga untuk kepentingan perhitungan hari pernyataan itu sendiri. Pasal 67 ayat
(1) Undang-undang Kepailitan menerangkan
bahwa yang berwenang melakukan pengurusan dan pemberesan harta
pailit.
Dengan demikian, debitur,
debitur kehilangan hak menguasai
harta yang masuk dalam
kepailitan, namun tidak
kehilangan hak atas harta
kekayaan yang berada diluar
kepailitan. Tentang harta kepailitan,
lebih lanjut dalam pasal 19 Undang-undang Kepailitan
menerangkan bahwa harta
pailit meliputi semua harta kekayaan debitur, yang ada pada saat pernyataan pailit
diucapkan serta semua kekayaan
yang diperolehnya selama kepailitan. Kendati telah
ditegaskan bahwa dengan dijatuhkannya putusan kepailitan harta
kekayaan debitur pailit
akan di urus dan di kuasai oleh Kurator, namun
tidak semua kekayaan debitur pailit diserahkan ke Kurator. Ada beberapa harta yang dengan tegas dikecualikan
dari kepailitan yaitu :
1.
Alat perlengkapan tidur dan pakaian sehari-hari
2.
Alat perlengkapan kerja
3.
Persediaan makanan
untuk kira-kira sebulan
4.
Gaji, upah, pensiun, uang jasa, dan honorium
5.
Hak cipta
6.
Sejumlah uang yang ditentukan oleh Hakim Pengawas untuk nafkah (debitur)
7.
Sejumlah uang yang diterima
dari pendapatan anak-anak
Demikian pula hak-hak pribadi debitur yang tidak dapat menghasilkan
kekayaan atau barang-barang milik pihak ketiga yang kebetulan berada ditangan si pailit, tidak dapat dikenakan eksekusi, misalnya
hak pakai dan hak mendiami rumah.
Untuk kepentingan harta pailit, semua
perbuatan hukum debitur yang
dilakukan sebelum pernyataan pailit diterapkan, yang merugikan dapat dimintakan pembatalannya. Pembatalan
tersebut hanya dapat dilakukan apabila
dapat dibuktikan bahwa debitur dan dengan siapa perbuatan tersebut merugikan
kreditor.
Dalam Pasal 19 Undang-undang
Kepailitan No. 4 Tahun 1998 jo Pasal 21 Undang-undang Kepailitan No. 37
Tahun 2004, kepailitan meliputi
seluruh harta kekayaan
debitur pada saat pernyataan pailit itu diputuskan beserta semua kekayaan yang diperoleh selama kepailitan itu.
Yang dimaksud dengan semua kekayaan yang diperoleh selama kepailitan, misalnya
warisan. Menurut Pasal 40 Undang-undang Kepailitan No. 37 Tahun 2004, segala warisan
yang selama kepailitan
menjadi hak debitur
pailit,
tidak
boleh diterima
oleh
Kurator,
kecuali
apabila mengguntungkan harta pailit.
Sedangkan untuk menolak warisan, Kurator memerlukan izin dari Hakim Pengawas.
C.
Akibat Kepailitan Terhadap Kewenangan Berbuat Debitur Pailit Dalam
Bidang Hukum Kekayaan
Setelah keputusan pernyataan pailit, debitur dalam
batas-batas tertentu masih dapat melakukan perbuatan hukum
kekayaan
sepanjang perbuatan
tersebut akan
mendatangkan keuntungan bagi harta pailit.
Sebaliknya apabila perbuatan
hukum tersebut akan merugikan
harta pailit Kurator dapat diminta pembatalan atas perbuatan
hukum yang dilakukan oleh debitur pailit. Pembatalan tersebut bersifat relatif, artinya
hal itu hanya dapat digunakan
untuk kepentingan harta pailit sebagaimana diatur dalam
Pasal 41 UUK No.37 Tahun 2004.
Orang yang mengadakan transaksi dengan
debitur tidak dapat mempergunakan alasan
itu untuk meminta pembatalan. Tindakan Kurator tersebut disebut Actio Paulina. Pengaturan tentang Actio Paulina
tersebut ada dalam Pasal
1341 KUHPerdata dan Pasal 41-45
Undang-undang Kepailitan. Dalam Pasal 41,
menyebutkan bahwa untuk kepentingan
harta pailit dapat dimintakan pembatalan atas segala
perbuatan hukum debitur yang telah dinyatakan pailit yang merugikan
kreditur, yang dilakukan
sebelum pernyataan pailit di tetapkan.
Pembatalan tersebut
hanya dilakukan, apabila
dapat dibuktikan bahwa, pada saat perbuatan hukum tersebut itu dilakukan, debitur dan pihak dengan siapa perbuatan hukum
itu dilakukan mengetahui
atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi
kreditur (ayat 2). Oleh debitur berdasarkan Undang-undang, misalnya kewajiban membayar pajak, tidak dapat dimintakan pembatalan (ayat 3).
Apabila perbuatan hukum
yang merugikan kreditor dilakukan dalam
jangka 1 (satu) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapakan, sedangkan perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan debitor, kecuali
dapat dibuktikan sebalikanya, debitor dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut
dilakukan dianggap mengetahui
atau sepatutnya mengetahui
bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi
kreditur.
Perbuatan yang dimaksud menurut
Pasal 42 Undang-undang Kepailitan No. 37 Tahun
2004 adalah :
1)
Merupakan
perjanjian dimana kewajiban debitor jauh melebihi kewajiban pihak dengan siapa perjanjian tersebut dibuat : misalnya debitur menjual barang jauh
dibawah harga.
2)
Merupakan pembayaran atas, atau pemberian
jaminan untuk utang
yang belum jatuh tempo dan
atau belum atau tidak dapat di tagih.
3)
Dilakukan
oleh debitor perorangan, dengan
atau untuk kepentingan :
a.
Suami
atau istrinya, anak angkat, atau keluarganya
sampai derajat ketiga.
b.
Suatu badan hukum dimana debitur
atau pihak sebagaimana dimaksud pada
(angka 1) adalah anggota
direksi, atau pengurus
atau apabila pihak tersebut baik
sendiri-sendiri maupun bersama-sama, ikut serta secara langsung
atau tidak langsung dalam kepailitan badan hukum tersebut lebih dari 50 % dari modal
yang disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut.
4) Dilakukan oleh debitur yang merupakan
badan hukum, dengan
atau untuk kepentingan :
a.
Anggota direksi atau pengurus
dari debitor, suami atau istri, anak angkat, atau
keluarga sampai derajat ketiga dari anggota direksi atau pengurus.
b.
Perorangan,
baik sendiri atau bersama-sama dengan suami atau istri, anak
anggkat atau keluarga sampai derajat ketiga, yang ikut serta secara langsung
atau tidak langsung dalam kepemilikan pada debitur lebih dari 50 % dari modal
disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut.
c.
Perorangan
yang suami atau istri, anak angkat,
atau keluarganya sampai derajat ketiga, ikut serta secara langsung dalam kepemilikan pada debitur lebih dari 50%
dari modal disetor atau dalam
pengedalian badan hukum
tersebut.
5)
Dilakukan
oleh debitur yang merupakan
badan hukum dengan atau untuk kepentingan badan hukum lainnya, apabila :
a. Perorangan anggota direksi atau pengurus
pada kedua badan usaha tersebut adalah orang yang sama.
b. Suami atau istri, anak angkat, atau
keluarga sampai derajat ketiga dari perorangan anggota direksi atau
pengurus debitor yang juga
merupakan anggota direksi atau pengurus
debitor yang juga merupakan anggota direksi atau
pengurus pada badan hukum lainnya,
atau sebalikanya.
c. Perorangan anggota direksi atau pengurus, atau anggota badan pengawas
pada debitur, atau suami, atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga,
baik sendiri atau bersama-sama, ikut serta secara langsung
dalam kepemilikan badan hukum lainnya
lebih dari 50 % (lima puluh persen) dari modal atau
dalam pengendalian badan
hukum tersebut, atau sebaliknya.
d. Debitor adalah anggota direksi atau pengurus pada bahan hukum lainnya, atau sebaliknya
e. Badan hukum yang sama, atau perorangan yang sama baik bersama, atau tidak dengan
suami atau istrinya, dan atau para anak angkatnya
dan keluarganya sampai derajat ketig ikut serta langsung atau tidak langsung dalam kedua badan
tersebut paling kurang sebesar 50 % dari modal yang disetor.
6)
Dilakukan oleh debitur yang merupakan
badan hukum dengan atau terhadap badan hukum
lain dalam satu grup dimana debitor adalah dalam penerapan ketentuan ini, suatu
badan hukum yang merupakan
anggota direksi yang berbentuk badan hukum diperlukan
sebagai direksi yang berbentuk badan hukum tersebut.
7)
Ketentuan
dalam angka 3, 4, 5,dan 6 berlaku mutatis
mutandis dalam hal dilakukan oleh
debitor dengan atau untuk
kepentingan :
a.
Anggota pengurus dari
suatu badan hukum, suami atau istri, anak angkat atau
keluarga sampai derajat ketiga dari anggota pengurus tersebut.
b.
Perorangan,
baik sendiri maupun bersama-sama dengan suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat
ktiga yang ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam pengendalian badan hukum tersebut.
Menurut Pasal 43 UUK
No. 37 Tahun 2004, hibah yang
dilakukan debitur dapat
dimintakan pembatalannya, apabila Kurator dapat membuktikan
bahwa pada saat
hibah tersebut dilakukan, debitur mengetahui
atau patut mengetahui bahwa
tindakan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur.
Dengan ketentuan tersebut, maka Kurator tidak perlu
membuktikan bahwa penerima hibah
mengetahui atau patut mengetahui
bahwa tindakan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur. Kecuali apabila dapat dibuktikan sebaliknya,
debitur dianggap mengetahui atau patut mengetahui
bahwa hibah tersebut merugikan
kreditur apabila hibah tersebut dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sebelum putusan pernyataan
pailit
ditetapkan.
Selanjutnya dalam Pasal 45 Undang-undang
Kepailitan No.37 Tahun 2004, ditentukan mengenai pembatalan pembayaran utang oleh debitur pailit hanya dapat dilakukan
apabila dapat dibuktikan bahwa
penerima pembayaran
itu mengetahui bahwa debitur pailit telah mengajukan laporan permohonan pernyataan pailit,
atau bila pembayaran itu
merupakan akibat suatu perundingan antara debitur dan kreditur, serta pembayaran
itu memberikan keuntungan kepada kreditur yang bersangkutan yang mendahulukan pembayaran di atas para kreditur
lainnya.
Akan tetapi penagihan kembali tersebut tidak
dapat dilakukan dari
seseorang pemegang surat perintah pembayaran atau surat perintah
pembayaran atau surat pemegang-pemegangnya
dahulu, diwajibkan menerima pembayaran.
Kecuali apabila dapat dibuktikan bahwa surat-surat berharga tersebut dikeluarkan karena penerima
pembayaran mengetahui bahwa debitur
telah mengajukan permohonan paiit atau surat
beharga tersebut dikeluarkan
atas perundingan antara debitur dan
kreditur, maka dalam hal ini orang yang mendapat keuntungan dari pengeluaran surat berharga itu wajib mengembalikan jumlah tersebut
kepada harta pailit.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penyusun, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa akibat hukum dari putusan pailit dari pengadilan niaga
bagi seorang debitur pailit itu dikelopmpokkan menjadi tiga kelompok, yaitu :
1. Akibat hukum kepailitan secara umum
2. Akibat hukum kepailitan secara khusus, dan
3. Akibat hikum kepailitan terhadap kewenangan berbuat debitur pailit
dalam ranah hikum kekayaan.
Berdasarkan
pembagian kelompok besar tersebut masing-masing dibagi lagi secara rinci dan
jelas.
Pada
intinya kepailitan mengakibatkan debitur yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan
Niaga kehilangan segala “hak perdata” untuk menguasai dan mengurus harta
kekayaan yang telah dimasukkan ke dalam harta pailit.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku :
Hartono,
Siti Soemarti, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Yogyakarta
: Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum UGM, 1983.
Yani,
Ahmad., Widjaja, Gunawan, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada, 1999.
Peraturan Perundang-undangan
:
1.
Kitab
Undang-undang Hukum Perdata ( KUHPerdata)
2.
Kitab
Undang-undang Hukum Dagang (KUHD)
3.
Undang-undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran.
4.
Undang-undang
Nomor 4 tahun 1998 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor
1 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang tentang Kepailitan menjadi
Undang-undang.
Media Online
: